Ketidak-adilan bisa
merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani bersuara dari banyak
orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan
membungkamnya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri ,
karena betapa kuatpun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata YA atau TIDAK, meskipun cuma didalam hatinya. “Gie
kamu tidak sendirian”.( Arif Budiman, kakak almarhum Gie )
Ada sebuah buku bagus yang terbit
di tahun 2009, buku tentang Soe Hok-Gie yang yang 40-an tahun lalu
meninggal di puncak gunung tertinggi di pulau jawa. Untuk Mengenang 40 tahun
meninggal nya Soe Hok-Gie maka sahabat-sahabatnya menulis kenangan-kenangan mereka
dan di rangkum dalam sebuah buku “Soe
Hok Gie Sekali lagi”
Pertama kali saya tahu nama Soe Hok-Gie dari sebuah film yang
diperankan Nicholas Saputra. Dari film itu saya jatuh cinta dengan sosok Soe
Hok-Gie dan segera menjadikan nya role
model dalam hidup saya. Saya yang tidak pintar terpecut semangatnya
saat ada di adegan Gie remaja yang protes pada mama nya saat disarankan untuk
mengulang pendidikannya, Gie yang tidak merasa bodoh berucap “saya bisa, saya
pintar, saya banyak membaca, carikan saya sekolah lain dan akan saya buktikan”.
Kalimat “Saya pintar, saya banyak membaca”
begitu melekat dikepala saya. Saat itu dibenak saya, jika saya banyak membaca
seperti Soe Hok-Gie, mungkin saya akan tertolong dari kebodohan.
Dari buku ini kita akan banyak tau tentang Soe Hok-Gie,
bagaiman kehidupannya, pergaulannya, pandangannya tentang bangsa ini, bahkan
sampai tragedy memilukan saat ia menemui ajalnya sehari sebelum ulang tahunnya
yang ke-27. Semua digambarkan dengan begitu jelas.
Tentang Soe Hok-Gie yang sudah berhasil membuat banyak orang
terkagum-kagum. Gie pernah mengkritik seorang guru, karena kritikan tersebut
akhirnya nilai Gie dikurangi. Dia mendapatkan nilai 8 tapi lalu di kurangi 3.
Guru yang tidak tahan oleh kritikan bagi Gie hanya layak masuk keranjang sampah. Diceritakan oleh Luki Sutrisno
Bekti, di usia Gie yang belum genap 17 tahun, tergerak hatinya saat melihat
seorang pria dewasa yang bukan pengemis terpaksa makan kulit mangga karena
kelaparan. Ia memberikan uang yang ada padanya saat itu Rp 2.50. Begitu besar
kesadaran sosialnya diusia semuda itu.
Dalam catatan hariannya dituliskan betapa ia marah pada Presiden Soekarno yang dianggapnya tidak peduli pada nasib rakyat yang kelaparan. Soekarno dianggapnya hanya tahu bersenang-senang dengan istri-istrinya. Soekarno dan generasinya dinilai telah mengkhianati perjuangan mereka. Benar mereka telah berjuang demi kemerdekaan, tetapi setelah merdeka mereka hanya memikirkan kesenangan mereka sendiri. Pada usia semuda itu, Gie sudah merasa harus berjuang demi bangsa yang rakyatnya telah menjadi begitu miskin sehingga tidak lagi bisa makan. Dengan bertambahnya usia, Gie makin yakin bahwa ia tidak bisa diam saja, ia harus berbuat sesuatu untuk melawan ketidakadilan yang sudah dialami rakyat Indonesia.
Dalam catatan hariannya dituliskan betapa ia marah pada Presiden Soekarno yang dianggapnya tidak peduli pada nasib rakyat yang kelaparan. Soekarno dianggapnya hanya tahu bersenang-senang dengan istri-istrinya. Soekarno dan generasinya dinilai telah mengkhianati perjuangan mereka. Benar mereka telah berjuang demi kemerdekaan, tetapi setelah merdeka mereka hanya memikirkan kesenangan mereka sendiri. Pada usia semuda itu, Gie sudah merasa harus berjuang demi bangsa yang rakyatnya telah menjadi begitu miskin sehingga tidak lagi bisa makan. Dengan bertambahnya usia, Gie makin yakin bahwa ia tidak bisa diam saja, ia harus berbuat sesuatu untuk melawan ketidakadilan yang sudah dialami rakyat Indonesia.
Setelah lulus dari SMA Kanisius, Gie kuliah di universitas
Indonesia di fakultas Sastra. Selama kurun waktu sebagai mahasiswa ia menjadi
pembangkang aktif memprotes Presiden Soekarno dan PKI. Melalui tulisan-tulisan
nya yang dimuat di beberapa surat kabar, nama Soe Hok-Gie dikenal oleh banyak
orang, tulisannya dibaca dari kalangan AURI bahkan sampai penjual peti mati di
Malang. Hok-Gie adalah seorang mantan ketua Mapala FS-UI, yang juga terkenal
sebagai penulis, aktifis dan tokoh pergerakan mahasiswa di jaman Orde Baru. Setelah
lulus dan menjadi sarjana, ia mengabdikan dirinya menjadi seorang dosen di
Universitas Indonesia dan menjadi seorang sejarawan muda. Ia menyarankan pada
mahasiswanya untuk memanggil nya Soe atau Gie dan bukan bapak. Gie ingin menjadi
seorang dosen sekaligus teman untuk mahasiswa nya.
Hok Gie suka membaca, mendengarkan lagu-lagu rakyat
atau folk songs, negro spiritual songs, dan judul lagu Donna Donna yang
dinyanyikan oleh Joan Baez adalah salah satu lagu favoritnya. Gie senang bergaul
dengan rekan pers senior seperti Aristides Katoppo, Goenawan Mohamad, Fikri
Djufri, Satyagraha Hoerip. Gie juga gila nonton terutama film asing, seperti
film prancis, Cekoslovakia, Rusia, Jerman yang tidak bayar, dan Hok-Gie senang
naik gunung. Bagi teman-temannya Hok-Gie adalah seseorang yang perhatian dan
mau mendengarkan setiap cerita maupun keluhan, seseorang yang bisa dimintai
pendapat tentang jalan keluar yang akan diambil setiap ada masalah, setidaknya
jika tidak mendapatkan jalan keluar, Gie bisa menjadi penghibur. Bagi
teman-temannya Gie adalah orang yang mampu melakukan banyak hal dalam satu
waktu.
Banyak orang menjadi moralis
sampai batas tertentu. Tapi Hok-Gie, terus tanpa batas. Hok-Gie adalah seorang
moralis penganut etika absolut, walaupun dia mengetahui dia akan dibunuh, dia
tidak akan membunuh orang itu walau punya kesempatan. Berbeda dengan orang yang
moralis penganut etika tanggung jawab, orang penganut etika tanggung jawab
tidak akan segan membunuh bila dia mempunyai kesempatan lebih dulu-ketika dia
mengetahui akan dibunuh orang tersebut. Dimata sahabat nya Tides, Hok-Gie
berbeda dari mahasiswa lainnya, Hok-Gie punya konsep, punya wawasan dan
pemikiran yang menarik, bacaannya banyak dan dalam berdiakusi dia selalu
memasukan bahan bacaannya yang banyak lewat kerangka teoritis, itu yang
menarik.
Dalam kenanganArief Budiman, kakak
Gie. Dia tahu dimana Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di jalan Kebon
Jeruk, di kamar belakang ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram,
karena voltase yang selalu turun di malam hari. Disana juga banyak nyamuk.
Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali terdengar suara mesin tik dari
kamar belakang Soe Hok-Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu,
sendirian, sedang mengetik membuat karangannya.
Selama beberapa minggu sebelum keberangkatannya ke Semeru, Gie
suka berkata-kata aneh. Beberapa kali dia mengisahkan kegundahan nya tentang
seorang kawan yang mati muda gara-gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku
harian nya di Catatan Seorang Demonstran' Hok-Gie menulis "
...saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin
ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru ..."
Soe yang banyak membaca dan selalu di ejek dengan julukan 'Cina kecil' memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata 'sakti' filsuf asing. Antara lain tanggal 22 Januari 1962, ia menulis " seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Soe yang banyak membaca dan selalu di ejek dengan julukan 'Cina kecil' memanfaatkan kebeningan ingatannya untuk menyitir kata-kata 'sakti' filsuf asing. Antara lain tanggal 22 Januari 1962, ia menulis " seorang filsuf Yunani pernah menulis ... nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.
Kematian Gie dan Idhan seperti sudah meninggalkan
tanda-tanda. Seperti Idhan yang selalu mengigau menyebut-nyebut 'Semeru' saat
tidur dan puisi yang dibuatnya sebelum kepergian ke Semeru berjudul "Djika
Berpisa" yang ia tulis untuk Herman O Lantang di tanggal 8 Desember 1969 dan disimpan nya di laci.
Sedangkan Gie, selain selalu teringat akan kematian, saat sehari sebelum ulang
tahunnya di gunung Semeru ia sempat menitipkan batu dan daun cemara untuk
perempuan-perempuannya di Jakarta.
Sebelum berangkat ke Semeru,
Hok-Gie menyempatkan diri mengirimi anggota DPR paket lipstik dan bedak agar
mereka tampak cantik di depan pemerintah. Hok-Gie kecewa pada teman-temannya
seperjuangan yang di anggapnya telah melupakan perjuangan nya membela rakyat
karena lebih asyik mematut diri agar terus di pakai di DPR. Bahkan teman baik
nya Rahman pun, tidak terlewat untuk menerima paket tersebut. Itulah Gie,
seseorang yang mempunyai pemikiran bebas, yang tidak takut untuk mengkritik
siapapun yang dianggapnya telah merugikan rakyat.
Hingga tiba pada peristiwa memilukan, kecelakaan yang Gie alami di
gunung Semeru membuat banyak orang merasa kehilangan. Hari itu Jumat, lebaran
ke-2 di tanggal 12 Desember 1969. Mereka 8 orang, Aristides Katoppo, Herman
Onesimus Lantang, Maman Abdurachman, Wiwiek Anton Wijana, Freddy Lodewijk
Lasut, Rudy Badil, Soe Hok-Gie dan Idhan Dhanvantari Lubis, mereka berangkat
dari stasiun Gambir Jakarta Pusat untuk melakukan pendakian ke puncak Mahameru
di gunung Semeru yang rencananya akan kembali ke Jakarta tanggal 19 atau 20
Desember 1969. Hok-Gie di malam "terakhirnya" tanggal 15 Desember
1969 di Ranu Kumbolo sempat menuturkan cita-citanya mau berulang tahun di
puncak Mahameru, pada hari Rabu 17 Desember 1969. Tapi manusia hanya bisa
berencana, Hok-Gie dan Idhan kompak menutup usia di lereng dekat puncak
Mahameru. Akhirnya tubuh Gok-Gie tetap di puncak Mahameru di hari ulang tahunnya,
meski itu adalah hari keduanya sebagai almarhum. Soe Hok-Gie berdampingan dengan
Idhan selama seminggu di puncak tertinggi tanah Jawa. Jasat mereka akhirnya
dibawa pulang ke Jakarta pada tanggal 24 Desember 1969 dengan menggunakan
pesawat Antonov TNI-AU. Rencana seminggu melakukan pendakian ternyata molor
menjadi 13 hari yang melelahkan, menegangkan, menyebalkan dan menakutkan. Kisah
kepiluan ini di ceritakan dengan jelas oleh Rudy Badil di bagian pertama 'Antar
Hok-Gie dan Idhan ke atas'
Gie dan Idhan di makamkan di Menteng Pulo, tetapi tak lama
kemudian karena keluarga Gie direpotkan pemerasan kecil-kecilan di Menteng
Pulo, Arief Budiman memindahkan jenazah Gie dibekas makam kolonial di Tanah
Abang yang lebih dekat dengan rumah orang tuanya. Disini makam Gie di tandai
dengam nisan putih sederhana yang di tulis kutipan dari ungkapan spiritual
rakyat yang menjadi favoritnya "nobody knows the trouble I see, nobody
knows my sorrow".
Pada tahun 1975, ketika pemerintah Jakarta mengumumkan bahwa makam lama di Tanah Abang akan di bongkar untuk keperluan pembangunan, keluarga Gie merencanakan tulang belulang Gie di kremasi dan abunya disebarkan oleh teman-teman nya pada peringatan hari ulang tahun Gie disalah satu tempat favoritnya jika ia mencari ketenangan dan menyendiri, yaitu lembah Mamdalawangi, dekat gunung Pangrango sekitar 90 km sebelah selatan Jakarta.
Mandalawangi yang di kagumi Soe Hok Gie adalah sebuah
lembah yang landai. Alasnya berumput lembut. Diatas alas rumput itu tumbuh
beribu-ribu pohon bunga Edelweis yang tingginya rata-rata satu meter. Pada
pertengahan Desember itu, Edelweis tidak berbunga, tapi konon pada bulan Mei
atau Juni lembah landai itu menjadi lebih indah karena bunga Edelweis dan
lainnya. Sedangkan daun Edelweis yang runcing keputih-putihan itupun dari
kejauhan sudah merupakan keindahan yang tersendiri.
Di kaki lembah, ada sumber air jernih yang mengalir. Dan jauh di sekeliling lembah, terdapat pohon-pohon besar yang membatasi jurang.
Di tempat itu, kemudiam abu Soe Hok Gie ditaburkan. Pada saat abu yang dibungkus kantong plastik dan anyaman tikar di buka, ke-35 orang di mandalawangi itu pada memelentangkan telapak tangan mereka di muka dada. Satu-satu, telapak tangan itu diisi dengan abu tulang Gie yang putih kecoklat-coklatan dan abu-abu. Setelah atas nya ditaburi bunga, abu di taburkan keseluruh penjuru lembah ke arah yang mereka suka. Ada yang ke tepi jurang, ada yang ke semak-semak edelweis, kedekat sumber air di ujung lembah ataupun rumput-rumputan. Abu Gie ditaburkan tanpa bekas.
Di kaki lembah, ada sumber air jernih yang mengalir. Dan jauh di sekeliling lembah, terdapat pohon-pohon besar yang membatasi jurang.
Di tempat itu, kemudiam abu Soe Hok Gie ditaburkan. Pada saat abu yang dibungkus kantong plastik dan anyaman tikar di buka, ke-35 orang di mandalawangi itu pada memelentangkan telapak tangan mereka di muka dada. Satu-satu, telapak tangan itu diisi dengan abu tulang Gie yang putih kecoklat-coklatan dan abu-abu. Setelah atas nya ditaburi bunga, abu di taburkan keseluruh penjuru lembah ke arah yang mereka suka. Ada yang ke tepi jurang, ada yang ke semak-semak edelweis, kedekat sumber air di ujung lembah ataupun rumput-rumputan. Abu Gie ditaburkan tanpa bekas.
Berikut adalah daftar isi buku setebal sekitar 556 halaman,sudah
plus covernya, Soe Hok-Gie Sekali lagi :
BAGIAN 1
Antar Hok-Gie dan Idhan ke Atas
Oleh Rudy Badil
BAGIAN 1
Antar Hok-Gie dan Idhan ke Atas
Oleh Rudy Badil
BAGIAN 2
Kisah Soe dan Semeru
Oleh Rudy Badil
Berdua Ke Menteng Pulo ( oleh John Maxwell )
Hok-Gie dan Pangrango untuk Hilang ( oleh Jimmy S Harianto )
"Konsultan" Harta Karun Watanabe ( oleh Rudy Badil )
Kisah Soe dan Semeru
Oleh Rudy Badil
Berdua Ke Menteng Pulo ( oleh John Maxwell )
Hok-Gie dan Pangrango untuk Hilang ( oleh Jimmy S Harianto )
"Konsultan" Harta Karun Watanabe ( oleh Rudy Badil )
Arca Kembar Itu Ternyata Ada ( oleh
Herman O Lantang )
Serba Serbi Semeru Serba Seru ( oleh
Cut Dwi Septiasari )
Puisi Perpisahan Menjelang Maut Mahameru
Puisi Perpisahan Menjelang Maut Mahameru
Istirahatlah Idhan dan Freddy ( oleh Rudy
Badil )
BAGIAN 3
Saksi-saksi Rawamangun-Salemba ( Oleh Rudy Badil )
Surat Terbuka Ker Buat Gie ( oleh Kartini Sjahrir )
Hok-Gie, Praktek Dokter "Curhat" ( oleh Luki Sutrisno Bekti )
Saksi-saksi Rawamangun-Salemba ( Oleh Rudy Badil )
Surat Terbuka Ker Buat Gie ( oleh Kartini Sjahrir )
Hok-Gie, Praktek Dokter "Curhat" ( oleh Luki Sutrisno Bekti )
"Penolak" Organisasi
Extra di Rawamangun ( oleh Luki Sutrisno Bekti )
Antara Moralis Absolute dan Humanis Universal ( oleh Luki Sutrisno Bekti )
Kerja " Blitzkrieg" angkatan 69 FS-UI
Puisi, Lirik dan Soe ( oleh Grace Josephine Tiwon )
Kenangan Seorang Rekan " TRIUMVIRATE" ( oleh Dahana )
Ikut Mengangkay Citra Radio UI ( oleh Purnama Kusumaningrat )
Antara Moralis Absolute dan Humanis Universal ( oleh Luki Sutrisno Bekti )
Kerja " Blitzkrieg" angkatan 69 FS-UI
Puisi, Lirik dan Soe ( oleh Grace Josephine Tiwon )
Kenangan Seorang Rekan " TRIUMVIRATE" ( oleh Dahana )
Ikut Mengangkay Citra Radio UI ( oleh Purnama Kusumaningrat )
"Look Soe, What We Have Done ... " (
oleh Rudy Hutapea )
BAGIAN 4
Tulisan Dari "The Angry Young Man"
Oleh Rudy Badil
GIE-Buku, Pesta, Cinta dan Sinema ( oleh Riri Riza )
Catatan Seorang Aktor ( oleh Nicholas Saputra )
Indahnya Keberanian dan Kejujuran ( oleh Mira Lesmana )
Andai Gie Ada (oleh N Riantiarno )
Tulisan Dari "The Angry Young Man"
Oleh Rudy Badil
GIE-Buku, Pesta, Cinta dan Sinema ( oleh Riri Riza )
Catatan Seorang Aktor ( oleh Nicholas Saputra )
Indahnya Keberanian dan Kejujuran ( oleh Mira Lesmana )
Andai Gie Ada (oleh N Riantiarno )
Gie Lewat GIE Mengenang Rasa Malu
( oleh Hilmar Farid )
Gie, Mahasiswa dan Amanat Penderitaan Rakyat ( oleh Ikrar Nusa Bhakti )
Catatan Aktivia 1980-an untuk Demonstran 1966 ( oleh Aris Santoso )
Gie, Mahasiswa dan Amanat Penderitaan Rakyat ( oleh Ikrar Nusa Bhakti )
Catatan Aktivia 1980-an untuk Demonstran 1966 ( oleh Aris Santoso )
Membaca Pikiran HAM Soe Hok-Gie ( oleh
Stanley Adi Prasetyo )
Teman Yang Kita Belum Pernah Bertemu ( oleh Iwan Bungsu )
Bagai "Shane" Yang Datang Dan Pergi ( oleh Susanto Pudjomartono )
Perkenalan Intelektual Dengan Soe Hok-Gie ( oleh Mona Lohanda )
Teman Yang Kita Belum Pernah Bertemu ( oleh Iwan Bungsu )
Bagai "Shane" Yang Datang Dan Pergi ( oleh Susanto Pudjomartono )
Perkenalan Intelektual Dengan Soe Hok-Gie ( oleh Mona Lohanda )
Soe Hok-Gie : Promise Unrealized?
( oleh Mery Somers Heidhues )
Menyongsong "Hari Kebangkitan Mahasiswa" 10 Januari Sekali Lagi Soe Hok Gie ( oleh Jopie Lasut )
Menyongsong "Hari Kebangkitan Mahasiswa" 10 Januari Sekali Lagi Soe Hok Gie ( oleh Jopie Lasut )
In Memoriam : Soe Hok-Gie ( oleh
Ben Anderson )
BAGIAN 5
karangan Dari Kamar Suram Bernyamuk
Oleh Rudy Badil
Bersama Mahasiswa UI Mengikuti Kembali Jalan Yang Sudah Hilang Di Pangrango
karangan Dari Kamar Suram Bernyamuk
Oleh Rudy Badil
Bersama Mahasiswa UI Mengikuti Kembali Jalan Yang Sudah Hilang Di Pangrango
( oleh Soe Hok-Gie )
Menaklukan Gunung Slamet ( oleh Soe Hok-Gie )
Menaklukan Gunung Slamet ( oleh Soe Hok-Gie )
Pelacuran Intelektual ( oleh Soe
Hok-Gie )
Awal dan Akhir ( oleh Soe Hok-Gie )
Di Sekitar Mahasiswa-Mahasiswa Demonstrasi Di Jakarta ( oleh Soe Hok-Gie )
Siapakah Saya ( oleh Soe Hok-Gie )
Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima ( oleh Soe Hok-Gie )
Putra-Putra Kemerdekaan : Generasi Sesudah Perang Kemerdekaan
( oleh Soe Hok-Gie )
Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang ( oleh Soe Hok-Gie )
Kenang-Kenangan Bekas Mahasiswa : Dosen-Dosen juga Perlu di Kontrol
Awal dan Akhir ( oleh Soe Hok-Gie )
Di Sekitar Mahasiswa-Mahasiswa Demonstrasi Di Jakarta ( oleh Soe Hok-Gie )
Siapakah Saya ( oleh Soe Hok-Gie )
Generasi yang Lahir Setelah Tahun Empat Lima ( oleh Soe Hok-Gie )
Putra-Putra Kemerdekaan : Generasi Sesudah Perang Kemerdekaan
( oleh Soe Hok-Gie )
Betapa Tidak Menariknya Pemerintah Sekarang ( oleh Soe Hok-Gie )
Kenang-Kenangan Bekas Mahasiswa : Dosen-Dosen juga Perlu di Kontrol
( oleh Soe Hok-Gie )
Saya Buka Wakil KAMI ( oleh Soe Hok-Gie )
Saya Buka Wakil KAMI ( oleh Soe Hok-Gie )
Seorang Dosen, Seorang Pengacara
dan Seorang Mahasiswa ( oleh Soe Hok-Gie )
Agama Dalam Tantangan ( oleh Soe Hok-Gie )
Orang-Orang Indonesia di Amerika Serikat ( oleh Soe Hok-Gie )
Sebuah Generasi Yang Kecewa ( oleh Soe Hok-Gie )
"Kekuatan Hitam" dan "Bahaya Kuning" ( oleh Soe Hok-Gie )
Hippies, Peace and Love ( Oleh Soe Hok Gie )
Agama Dalam Tantangan ( oleh Soe Hok-Gie )
Orang-Orang Indonesia di Amerika Serikat ( oleh Soe Hok-Gie )
Sebuah Generasi Yang Kecewa ( oleh Soe Hok-Gie )
"Kekuatan Hitam" dan "Bahaya Kuning" ( oleh Soe Hok-Gie )
Hippies, Peace and Love ( Oleh Soe Hok Gie )
0 comments:
Post a Comment